Jumat, 27 Mei 2011

Siddhartha Gautama (563 sm- 483 sm)



Memendam kemarahan bagaikan menggenggam bara panas dengan niatan untuk melemparkannya ke seseorang, sebenarnya dirimu lah yang terbakar

Gautama Buddha dilahirkan dengan nama Siddhartha Gautama, dia kemudian menjadi sang Buddha (orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni (orang bijak dari kaum Sakya) dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung di masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti, sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian.

Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha.

Kedamaian berasal dari dalam batin, Jangan mencarinya di luar, Kamu tidak akan menemukannya



Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana, Raja Kapilavastu (timur laut India, berbatasan dengan Nepal), dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Maha Maya Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia 7 hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Sejak meninggalnya Ratu Maha Maya Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Maha Pajapati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondanna yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha.

Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat 4 macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. 4 macam peristiwa itu adalah: Orang tua, Orang sakit, Orang mati, Seorang pertapa.

Tidak iri maupun serakah, tanpa menjadi budak hawa nafsu dan tidak terseret dalam segala situasi, itulah cara hidup mulia



Masa kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

1.Kolam Bunga Teratai Biru (Uppala)
2.Kolam Bunga Teratai Merah (Paduma)
3.Kolam Bunga Teratai Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang merupakan sepupunya. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

1.Istana Musim Dingin (Ramma)
2.Istana Musim Panas (Suramma)
3.Istana Musim Hujan (Subha)

Jangan khawatir orang lain tidak mengerti dirimu, khawatirlah kalau kamu tidak mengerti orang lain



Masa dewasa
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini? Kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alara Kalama dan kemudian kepada Uddaka Ramaputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani 5 orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Kesempurnaan manusia sejati bukan apa yang dimilikinya melainkan bagaimana dirinya



Masa pengembaraan
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari 2 pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.

Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama 6 tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan: “Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu”.

Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu.

Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar 6 sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti, kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan, merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih, putih mengandung arti suci, jingga berarti giat, dan campuran kelima sinar tersebut.

Menaklukkan ribuan orang belum bisa disebut sebagai pemenang, tetapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yang disebut penakluk gemilang



Penyebaran ajaran Buddha
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata (Ia Yang Telah Datang, Ia Yang Telah Pergi), Sugata (Yang Maha Tahu), Bhagava (Yang Agung) dan sebagainya. 5 pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukanNya, yaitu “8 Ruas Jalan Kemuliaan” termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan “4 Kebenaran Mulia”.

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama 45 tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa 3 bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara 2 pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswaNya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Baik sepatutnya dibalas baik, jahat jangan dibalas jahat, bukan tiada pembalasan, hanya belum saatnya, Hukum Karma berlaku abadi



Sifat Agung Sang Buddha
Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan 4 Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu:

1.Berusaha menolong semua makhluk.
2.Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3.Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
4.Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari 10 tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu

- Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
- Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
- Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Beberapa saat sesudah Gautama wafat agama baru ini merambat pelan. Pada abad ke 3 sm, seorang kaisar India bernama Asoka menjadi pemeluk Agama Buddha. Berkat dukungannya, penyebaran Agama Buddha melesat deras, bukan saja di India tapi juga di Birma. Dari sini agarna itu menjalar ke seluruh Asia Tenggara, ke Malaysia dan Indonesia. Bahkan ke utara, menerobos masuk Tibet, Afghanistan dan Asia Tengah. Merambah Cina dan menyeberang ke Jepang dan Korea. Sedangkan di India sendiri agama baru itu mulai menurun pengaruhnya sesudah sekitar tahun 500 masehi malahan nyaris punah di tahun 1200 masehi.

Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya.

Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.

Kata-kata yang tulus tidaklah indah, kata-kata yang indah tidaklah tulus

http://id.wikipedia.org/wiki/Siddharta_Gautama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar